Senin, 04 Februari 2013

PULAU KOMODO








Sejak beberapa tahun belakangan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah naik daun di kalangan pelancong dunia. Setiap tahunnya, wisatawan mancanegara masuk ke Pulau Komodo untuk melihat binatang komodo yang hidup bebas di habitatnya.
Namun, seperti diungkapkan Kepala Bagian Perencanaan dan Kerjasama Destinasi Pariwisata Kemenparekraf, Frans Teguh, penduduk di Pulau Komodo tepatnya di Desa Komodo tidak merasakan dampak dari pariwisata yang begitu pesat terjadi di TNK.
“Mereka (penduduk desa) bilang nggak dapat apa-apa, saya sangat miris mendengarnya,” ungkap Frans kepada Kompas.com baru-baru ini.
Ia menuturkan penduduk desa telah mendapatkan bantuan melalui PNPM Mandiri Pariwisata untuk mengembangkan desa wisata. Pemodalan tersebut diharapkan dapat memasukan penduduk desa ke mata rantai pariwisata.
Menurut Frans, Desa Komodo yang kurang lebih terdiri dari 200 kepala keluarga tersebut, sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan. Dengan adanya program PNPM Mandiri Pariwisata, para penduduk belajar membuat patung-patung komodo.
“Ada workshop dan pelatihan keahlian untuk mereka. Seperti komoditas pariwisata yang bisa dijual, misalnya suvenir patung komodo. Itu yang tengah terbangun. Mereka punya alat sendiri dan pengajar didatangkan dari Bali,” jelas Frans.
Selain itu, lanjut Frans, penduduk setempat juga mengolah makanan khas untuk wisatawan yang datang. Namun, karena tak banyak pengunjung yang datang ke desa tersebut, akhirnya transaksi jual-beli pun terbatas.
“Kritik saya ke Taman Nasional, seolah mau masuk ke core bisnis pariwisata. Harusnya dia core-nya konservasi. Harusnya ada skema untuk meningkatkan core konservasi dengan pelibatan dengan masyarakat lokal. Ketika masuk ke ranah pariwisata, dia harus libatkan pemerintah daerah,” ungkap Frans.
Ia mengakui pihak TNK melibatkan masyarakat lokal dengan merekrut mereka menjadi ranger (polisi hutan). Tetapi, tambah Frans, hal tersebut masih dinilai terlalu kecil. Seharusnya ada sebuah manajemen pengunjung untuk mengatur pariwisata di TNK dan sekitarnya.
“Semua aktivitas wisata harus bergerak dari Labuan Bajo, karena hub-nya di sana. Labuan Bajo bisa menjadi service poin. Kapal pesiar dengan kapasitas 1.000 penumpang lempar jangkar di Labuan Bajo. Lalu diatur secara sosiologis dan masyarakat setempat,” ungkapnya.
Frans menuturkan budaya setempat sebenarnya melibatkan sebuah ritual sebelum bertemu Komodo. Sayangnya, ritual ini sudah tak pernah dijalankan. Ia berpendapat ritual tersebut sebaiknya dijalankan kembali.
“Wisatawan yang datang, harusnya di Labuan Bajo dibuatkan upacara, ritual dijalankan terlebih dahulu sebelum masuk ke TNK. Ritual ini saja bisa menjadi daya tarik wisata,” tuturnya.
Selama ini, jelas Frans, kapal pesiar lepas jangkar di lautan dekat dengan TNK, bukannya di Labuan Bajo. Kemudian turis dari kapal pesiar naik boat langsung datang ke pintu masuk TNK.
“Kita perlu long stay di Labuan Bajo diperpanjang. Kesenian, suvenir, makanan lokal, sampai transportasi akan kena dampaknya. Ini harus community based,” tuturnya.

Sebagai gambaran, tambah Frans, tahun 2011, TNK menerima 52 kunjungan kapal pesiar. Masing-masing kapal pesiar berkapasitas mulai dari 100 penumpang sampai 2.000 penumpang.


FAHIMAH / 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar